Budaya Aceh
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
terdiri atas sembilan suku, yaitu Aceh (mayoritas), Tamiang (Kabupaten Aceh
Timur Bagian Timur), Alas (Kabupaten Aceh Tenggara), Aneuk Jamee (Aceh
Selatan), Naeuk Laot, Semeulu dan Sinabang (Kabupaten Semeulue). Masing-masing
suku mempunyai budaya, bahasa dan pola pikir masing-masing.
Bahasa yang umum digunakan adalah
Bahasa Aceh. Di dalamnya terdapat beberapa dialek lokal, seperti Aceh Rayeuk,
dialek Pidie dan dialek Aceh Utara. Sedangkan untuk Bahasa Gayo dikenal dialek
Gayo Lut, Gayo Deret dan Gayo Lues.
Di sana hidup adat istiadat Melayu,
yang mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga masyarakat bersendikan
hukum syariat Islam. Penerapan syariat Islam di provinsi ini bukanlah hal yang
baru. Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, tepatnya sejak masa kesultanan,
syariat Islam sudah meresap ke dalam diri masyarakat Aceh.
Sejarah menunjukkan bagaimana rakyat
Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan ulama pun mendapat tempat yang
terhormat. Penghargaan atas keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya itu
kemudian diperjelas dengan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 menggenai
Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dalam UU No.11 Tahun 2006 mengenai
Pemerintahan Aceh, tercantum bahwa bidang al-syakhsiyah (masalah kekeluargaan,
seperti perkawinan, perceraian, warisan, perwalian, nafkah, pengasuh anak dan
harta bersama), mu`amalah (masalah tatacara hidup sesama manusia dalam
kehidupan sehari-hari, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam),
dan jinayah (kriminalitas) yang didasarkan atas syariat Islam diatur dengan
qanun (peraturan daerah).
Undang-undang memberikan keleluasaan
bagi Aceh untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam.
Sekalipun begitu, pemeluk agama lain dijamin untuk beribadah sesuai dengan
kenyakinan masing-masing. Inilah corak sosial budaya masyarakat Aceh, dengan
Islam agama mayoritas di sana tapi provinsi ini pun memiliki keragaman agama.
Keanekaragaman seni dan budaya
menjadikan provinsi ini mempunyai daya tarik tersendiri. Dalam seni sastra,
provinsi ini memiliki 80 cerita rakyat yang terdapat dalam Bahasa Aceh, Bahasa
Gayo, Aneuk Jame, Tamiang dan Semelue. Bentuk sastra lainnya adalah puisi yang
dikenal dengan hikayat, dengan salah satu hikayat yang terkenal adalah Perang
Sabi (Perang Sabil).
Seni tari Aceh juga mempunyai
keistimewaan dan keunikan tersendiri, dengan ciri-ciri antara lain pada mulanya
hanya dilakukan dalam upacara-upacara tertentu yang bersifat ritual bukan
tontonan, kombinasinya serasi antara tari, musik dan sastra, ditarikan secara
massal dengan arena yang terbatas, pengulangan gerakan monoton dalam pola gerak
yang sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang, serta waktu penyajian
relatif panjang.
Tari-tarian yang ada antara lain
Seudati, Saman, Rampak, Rapai, dan Rapai Geleng. Tarian terakhir ini paling
terkenal dan merupakan perpaduan antara tari Rapai dan Tari Saman.
Dalam bidang seni rupa, Rumoh Aceh merupakan karya arsitektur yang
dibakukan sesuai dengan tuntutan budaya waktu itu. Karya seni rupa lain adalah
seni ukir yang berciri kaligrafi. Senjata khas Aceh adalah rencong. Pada
dasarnya perpaduan kebudayaan antara mengolah besi (metalurgi) dengan seni
penempaan dan bentuk. Jenis rencong yang paling terkenal adalah siwah.
Suku bangsa Aceh menyenangi hiasan
manik-manik seperti kipas, tudung saji, hiasan baju dan sebagainya. Kemudian
seni ukir dengan motif dapat dilihat pada hiasan-hiasan yang terdapat pada
tikar, kopiah, pakaian adat, dan sebagainya.
Budaya Bercocok Tanam
Bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan lahan. Dalam hal ini, ada
lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni panglima uteuen yang dibawahi
beberapa struktur adat lainnya seperti petua seuneubôk, keujruen blang, pawang
glé, dan sebagainya.
Dalam sistem pengelolaan hutan sebagai
lahan bercocok tanam, fungsi petua seuneubôk tak dapat dinafikan. Seuneubôk
sendiri maknanya adalah suatu wilayah baru di luar gampông yang pada mulanya
berupa hutan. Hutan tersebut kemudian dijadikan ladang. Karena itu, pembukaan
lahan seuneubôk harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak
menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneubôk dan lingkungan hidup itu
sendiri. Maka fungsi petua seuneubôk menjadi penting dalam menata bercocok
tanam, di samping kebutuhan terhadap keujruen blang.
Budaya Membuka Lahan Perkebunan
Bagi masyarakat Aceh terdapat sejumlah aturan yang sudah hidup dan
berkembang sejak zaman dahulu. Kearifan masyarakat Aceh juga terdapat dalam
larangan menebang pohon pada radius sekitar 500 meter dari tepi danau, 200
meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada daerah rawa, sekitar 100
meter dari tepi kiri-kanan sungai, sekitar 50 meter dari tepi anak sungai
(alue).
Pamali atau Pantangan
Selain itu, dalam adat Aceh dikenal
pula sejumlah pantangan saat membuka lahan di wilayah seuneubôk. Pantangan itu
seperti peudong jambô. Jambô atau gubuk tempat persinggahan melepas lelah sudah
tentu ada di setiap lahan. Dalam adat meublang, jambô tidak boleh didirikan di
tempat lintasan binatang buas atau tempat-tempat yang diyakini ada makhluk
halus penghuni rimba. Bahan yang digunakan untuk penyangga gubuk juga tidak
boleh menggunakan kayu bekas lilitan akar (uroet), karena ditakutkan akan
mengundang ular masuk ke jambô tersebut.
Ada pula pantang daruet yang maksudnya
anggota suneubôk dilarang menggantung kain pada pohon, mematok parang pada
tunggul pohon, dan menebas (ceumeucah) dalam suasana hujan. Hal ini karena
ditakutkan dapat mendatangkan hama belalang (daruet).
Selain itu, di dalam kebun (hutan) juga
dilarang berteriak-teriak atau memanggil-manggil seseorang saat berada di
hutan/kebun. Hal ini ditakutkan berakibat mendatangkan hama atau hewan yang
dapat merusak tanaman, seperti tikus, rusa, babi, monyet, gajah, dan
sebagainya.
Disebutkan pula bahwa dalam adat Aceh
terdapat pantangan masuk hutan atau hari-hari yang dilarang. Karena orang Aceh
kental keislamannya, hari yang dilarang itu biasanya berkaitan dengan
“hari-hari agama”.
Aceh juga mencatat sejumlah larangan
atau pantangan dalam perilaku. Hal ini seperti memanjat atau melempar durian
muda, meracun ikan di sungai atau alue, berkelahi sesama orang dewasa dalam
kawasan seuneubôk, mengambil hasil tanaman orang lain semisal buah rambutan,
durian, mangga, dll. walaupun tidak diketahui pemiliknya, kecuali buah yang
jatuh. Larangan tersebut tentunya menjadi cerminan sikap kejujuran dalam
kehidupan di bumi yang mahaluas ini.
Adat Bersawah
Dalam bersawah (meupadé), juga terdapat
sejumlah ketentuan demi keberlangsungan kenyaman dan keamanan bercocok tanam.
Hal ini seperti hanjeut teumeubang watèe padé mirah. Maksudnya adalah tidak
boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar, dipercaya
akan mendatangkan hama wereng (geusong). Demi menghindari sawah sekitar ikut
imbas hama wereng, bagi si pelanggar ketentuan itu dikenakan denda oleh keujruen
blang.
Sumber Dari
Wikipedia bahasa Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar